2025-05-23
Kantor Gubernur Jawa Barat Wilayah Karisidenan Kacirebonan, bernama Bale Jaya Dewata di jalan Siliwangi Kota Cirebon, dikritisi sejumlah pemerhati budaya, pada Kamis (24/4/2025) siang.

Lihat Foto

Penamaan baru ini dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tanpa melibatkan masyarakat lokal dalam proses musyawarah atau urun rembuk.

Warga menilai, langkah sepihak ini mencederai nilai-nilai partisipasi masyarakat dalam penentuan identitas budaya suatu daerah.

Pantauan Kompas.com pada Kamis (24/4/2025) menunjukkan papan nama baru “Bale Jaya Dewata” telah terpasang meskipun masih dalam proses penyempurnaan.

Gubernur Dedi Mulyadi sebelumnya menyebut bahwa gedung tersebut akan digunakan sebagai lokasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Provinsi Jawa Barat dalam waktu dekat.

“Tahun ini kami perjalanan di tengah ya, 2026 sudah ready, pembangunan terencana, dan nanti akan kami mulai di Musrembang Provinsi yang akan diselenggarakan di Balai Jaya Dewata, kantor Gubernur Jawa Barat wilayah Kacirebonan,” ujar Dedi.

Siapa yang Menolak dan Apa Alasannya?

Pemerhati sejarah dan budaya Kota Cirebon, Jajat Sudrajat, mengaku terkejut dengan perubahan nama tersebut.

Ia menilai tindakan Gubernur Dedi Mulyadi tidak menghormati nilai-nilai lokal serta sejarah Cirebon.

“Memang kantor itu milik Provinsi Jawa Barat, tetapi yang bikin saya kaget, kok tidak ada satu pun warga Cirebon yang diajak bicara, entah dari perwakilan keraton, pemerhati budaya, sejarah, sehingga tidak jadi polemik,” ujar Jajat.

Menurut Jajat, nama “Jaya Dewata” merujuk pada nama muda Prabu Siliwangi, tokoh besar dari Pajajaran yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah Kota Cirebon.

Ia menyarankan agar nama gedung lebih mencerminkan identitas lokal, seperti Panembahan Losari atau Pangeran Suci Manah yang memiliki ikatan sejarah dan budaya yang kuat dengan Cirebon.

Bagaimana Sejarah Gedung Negara Kota Cirebon?

Raden Chaidir Susilaningrat, pemerhati budaya lainnya, menambahkan bahwa perubahan nama dilakukan tanpa komunikasi yang memadai dengan para pemangku kepentingan budaya. Ia mengaku baru mengetahui perubahan nama tersebut dari media sosial.

“Saya sendiri baru tahu hari ini dari media sosial, peresmian nama baru pun saya tidak dengar ada acara, tampaknya tidak ada perubahan apa-apa, cuma nama saja yang berubah,” ujar Chaidir.

Chaidir menjelaskan bahwa gedung tersebut didirikan pada tahun 1808 Masehi sebagai markas pasukan kolonial Belanda yang sebagian besar anggotanya berasal dari pribumi.

Gedung ini telah mengalami berbagai perubahan fungsi dan nama, termasuk menjadi Gedung Karesidenan dan kemudian Bakorwil (Badan Koordinasi Wilayah III Cirebon).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *